Nasib Tragis Puyi,  Kaisar Terakhir Tiongkok dan 7 Fakta Menarik Lainnya

JAKARTA (SURYA24.COM)  – Nama Puyi tidak dipisahkan dari sejarah Tiongkok kontemporer, karena dia adalah Kaisar Terakhir Tiongkok. Tidakl hanya sebatas figur yang menarik. Namun terbilang kontroversial dalam sejarah negeri Tiongkok modern. Lazimnya kaisar Tiongkok lainnya yang diyakini titisan naga maka Putyi  lahir pada 7 Februari 1906 di Kekaisaran Qing. Menariknya, dia diangkat menjadi kaisar pada usia tiga tahun oleh kakeknya, Kaisar Guangxu, setelah kematian ayahnya Selanjutnya sejarah mencatat dia adalah kaisar terakhir dari Dinasti Qing dan kekaisaran terakhir Tiongkok.

      Dirangkum dari berbagai sumber, Puyi diangkat menjadi kaisar pada saat yang sangat genting dalam sejarah Tiongkok. Revolusi Xinhai yang dimulai pada tahun 1911 telah menumbangkan Dinasti Qing, dan kaisar-kaisar sebelumnya dipaksa turun tahta. Namun, karena Puyi masih sangat muda, ia dan keluarganya diizinkan untuk tetap tinggal di Istana Kekaisaran di Beijing.

    Pada tahun 1917, setelah beberapa tahun diasingkan dari istana oleh Republik Tiongkok, Puyi diundang oleh Jenderal Zhang Xun untuk kembali sebagai kaisar. Namun, Zhang Xun hanya memerintah selama beberapa hari sebelum digulingkan oleh pasukan republik. Setelah itu, Puyi dipaksa meninggalkan istana dan hidup sebagai warga biasa.

      Selama periode ini, Puyi mengalami banyak kesulitan. Dia dipaksa untuk bekerja sebagai petani dan kemudian sebagai pegawai negeri biasa. Namun, pada tahun 1932, ia diundang kembali ke Manchuria oleh Jepang, yang telah menginvasi wilayah tersebut. Jepang mengangkat Puyi sebagai pemimpin boneka negara Manchukuo dan memberinya kembali kekuasaan.

    Pada masa pemerintahannya di Manchukuo, Puyi melakukan banyak reformasi yang kontroversial, termasuk memaksakan bahasa Jepang dan melakukan penganiayaan terhadap masyarakat Tionghoa. Pada akhir Perang Dunia II, Jepang menyerah dan Manchukuo runtuh, dan Puyi diadili oleh pemerintah Republik Tiongkok atas kejahatan perang. Dia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, tetapi kemudian dibebaskan pada tahun 1959.

     Setelah dibebaskan, Puyi memilih untuk hidup sebagai warga biasa di Beijing dan menulis memoar tentang kehidupannya sebagai kaisar dan pemimpin boneka. Memoar tersebut kemudian diadaptasi menjadi film "The Last Emperor" oleh sutradara Bernardo Bertolucci, yang memenangkan sembilan Penghargaan diajang bergengsi Oscar tahun 1988.

     Sejarahpun mencatat Puyi meninggal pada 17 Oktober 1967 karena komplikasi kanker kandung kemih. Meskipun ia menjadi kaisar pada saat yang genting dalam sejarah Tiongkok, ia sering dipandang sebagai pemimpin boneka yang hanya mempertahankan kekuasaannya atas desakan Jepang. Namun, sejarah Puyi sebagai kaisar terakhir Tiongkok tetap menjadi bagian penting dari sejarah Tiongkok modern.

 Mengapa Melepaskan Takhtanya?

     Menjadi kaisar Tiongkok di usia hampir tiga tahun, Puyi melepaskan takhtanya setelah empat tahun memerintah. Apa penyebabnya? Berikut uilasannya dikutip dari nationalgeographic.co.id,

 

 

        Pada bulan Oktober 1911, garnisun tentara di Wuhan memberontak. Ini memicu pemberontakan yang lebih luas yang menyerukan penghapusan Dinasti Qing. Selama berabad-abad, pemegang kekuasaan Tiongkok memerintah dengan konsep Mandat Surga. Ini melambangkan kekuasaan absolut penguasa sebagai hadiah dari surga atau Tuhan.

    Selama Revolusi 1911 atau Revolusi Xinhai, rakyat Tiongkok percaya bahwa Mandat Surga harus ditarik kembali. Kerusuhan menyerukan kebijakan nasionalis dan demokratis atas pemerintahan kekaisaran.

     Puyi dipaksa turun takhta sebagai tanggapan terhadap Revolusi 1911 namun ia diizinkan untuk mempertahankan gelarnya. Untuk itu, Puyi diperbolehkan untuk tinggal di istananya, menerima subsidi tahunan dan diperlakukan seperti kaisar atau pejabat asing. Saat itu, Kekaisaran Tiongkok yang berkuasa selama lebih dari 2.000 tahun resmi berakhir.

   Rupanya, Ibu Suri Longyu berada di balik pengunduran diri Puyi saat itu.   Pemberontakan yang terjadi pada Oktober 1911 membuat Ibu Suri Longyu menjadi melunak. Awalnya, ia setuju untuk diselenggarakannya konferensi antara pihak republik dan kekaisaran. Konferensi tersebut membahas soal masa depan Tiongkok.

     Negosiator di kedua sisi memilih bentuk pemerintahan republik dan 14 provinsi mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun mereka memutuskan untuk meminta kekaisaran untuk memutuskan apakah pemerintahan baru akan menjadi republik konstitusional atau monarki konstitusional.

 

    "Pada akhir Desember 1911, Ibu Suri Longyu setuju, dengan demikian mengakhiri Dinasti Qing dan Kekaisaran Tiongkok," tulis Lane J. Harris di bukunya yang berjudul The Peking Gazette.

    Pengunduran diri itu resmi mengakhiri Dinasti Manchu Qing yang berusia 268 tahun dan seluruh sistem kekaisaran. Ibu Suri Longyu mengeluarkan tiga dekrit. Yang pertama adalah dekrit formal pelepasan takhta. Dekrit kedua meminta semua pejabat untuk menjaga perdamaian selama dalam transisi. Yang ketiga, memberikan Aisin Gioro Puyi gelar "Kaisar Qing Agung" sampai akhir hidupnya, anuitas empat juta tael, tempat tinggal "sementara" di Kota Terlarang, dan perlindungan atas harta miliknya.

   Dekrit turun tahta, yang ditandatangani oleh Ibu Suri Longyu atas nama Kaisar Puyi berbunyi:

    "Seluruh kekaisaran cenderung ke arah bentuk pemerintahan republik. Itu Kehendak Surga dan sudah pasti kita tidak bisa menolak keinginan rakyat demi kehormatan dan kemuliaan satu keluarga.

   Kami, Kaisar, menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Kami memutuskan bentuk pemerintahan menjadi republik konstitusional.

    Pada masa transisi ini, untuk menyatukan Selatan dan Utara, kami menunjuk Yuan Shikai untuk mengatur pemerintahan sementara, berkonsultasi dengan tentara rakyat mengenai penyatuan lima bangsa: Manchu, Han, Mongolia, Mohammedan dan Tibet. Orang-orang ini bersama-sama membentuk negara besar Chung Hwa Ming-Kus (Republik Tiongkok).

 

Kami sekarang pensiun ke kehidupan yang damai dan akan menikmati perlakuan hormat dari bangsa."

    Puyi secara singkat dikembalikan ke takhtanya sebagai bagian dari Restorasi Manchu pada tahun 1919. Namun ia berkuasa hanya selama 12 hari sebelum pasukan republik menggulingkan kaum royalis.

     Pada tahun 1924, gelar kekaisaran Puyi dihapuskan dan ia pun menjadi warga negara biasa. Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Puyi menghabiskan sebagian besar sisa masa dewasanya sebagai bidak. "Ia dimanipulasi oleh berbagai kekuatan untuk mengejar tujuan mereka sendiri," ungkap Roller. 

      Pada tahun 1959, ia bekerja sebagai penyapu jalan di Beijing. Mantan kaisar itu menjadi warga negara tanpa gelar resmi, tunjangan atau penghargaan. Puyi kemudian meninggal pada tahun 1967 karena kanker ginjal dan penyakit jantung.

7 Fakta Menarik tentang Puyi, Sang Kaisar Terakhir 

    Sejarah mencatat  kekaisaran Tiongkok kuno membentang panjang. Dahulu, Tiongkok dikenal dunia dengan sebuah bentuk pemerintahan politik yang diwariskan secara turun-temurun dalam sistem kedinastian nyaris tanpa putus.

   Sosok menarik dari perubahan era dari salah satu negara di Asia Timur tersebut adalah Puyi, sang kaisar terakhir Tiongkok. Fakta-fakta apa saja yang menarik untuk diketahui? Simak ulasannya sebagai berikut seperti dilansir idntimes.com dan sumber lainnya.

1. Naik tahta sebagai kaisar Dinasti Qing saat balita

     Puyi lahir dalam keluarga kerajaan Dinasti Qing pada 7 Februari 1906. Ayahnya adalah Pangeran Chun dan ibunya adalah Putri Youlan. Ia tumbuh dalam lingkungan istana, sehingga pengetahuannya tentang dunia luar sangat sedikit.

    Puyi naik tahta Dinasti Qing pada umur dua tahun, setelah pamannya, Kaisar Guangxu meninggal pada 14 November 1908. Secara resmi ia bergelar Kaisar Xuantong, tapi untuk melakukan administrasi pemerintahan secara langsung ia masih diwakili oleh deputi kerajaan karena masih kecil dan belum mengerti apa-apa.

2. Gerakan revolusi rakyat Tiongkok memaksa Puyi turun tahta

    Pada 1911, rakyat Tiongkok mengobarkan gerakan revolusi melawan Dinasti Qing. Gerakan yang mengatasnamakan Republik Tiongkok itu berhasil mengambil alih pemerintahan.

    Pada 12 Februari 1912, sebagai akibat gerakan revolusi, Puyi dipaksa turun tahta, sekaligus mengakhiri sejarah 267 tahun kekuasaan Dinasti Qing dan 2.133 tahun sistem kekaisaran Tiongkok. Meski begitu, ia masih diizinkan melanjutkan hidup di dalam istana di Beijing tapi tanpa kekuasaan sama sekali.

3. Kembali naik tahta dalam periode singkat hingga diusir dari istana

    Untuk periode singkat pada 1917, Puyi kembali dinobatkan sebagai Kaisar Tiongkok oleh Zhang Xun, seorang jenderal loyalis Dinasti Qing. Namun, kekuasaan itu hanya bisa bertahan selama 12 hari karena diambil alih kembali oleh pemerintah Republik Tiongkok.

    Puyi tetap melanjutkan hidup dalam keterasingan di istana selama bertahun-tahun. Segalanya berubah pada 1924, pemerintah Republik Tiongkok secara resmi mencabut gelarnya sebagai kaisar dan memaksanya keluar dari istana.

4. Satu-satunya kaisar yang dinobatkan 3 kali

    Meski dinobatkan menjadi kaisar hingga tiga kali, Puyi sebenarnya tidak berkuasa bahkan untuk sehari pun. Pasalnya, Puyi adalah "kaisar boneka". Pada penobatan pertama, ia memerintah Dinasti Qing sebagai Kaisar Xuantong dari tahun 1908 hingga 1912. Namun, ayahnya, Zaifeng, adalah penguasa yang sebenarnya dengan jabatannya sebagai bupati.

     Pada penobatan kedua di tahun 1917, Puyi dikembalikan ke tahta oleh panglima perang Zhang Xun, seorang jenderal loyalis Dinasti Qing. Sayangnya, pemulihan Dinasti Qing hanya berlangsung selama 12 hari. Pada penobatan terakhir, Jepang menjadikan Puyi penguasa Manchukuo, negara boneka Kekaisaran Jepang dan menjabat pada 1943-1945.

5. Menjadi kepala pemerintahan boneka selama penjajahan Jepang atas Tiongkok

     Selama penjajahan Jepang, Puyi hidup dan tinggal di Kota Tianjin. Hingga pada 1932, ia membuat kesepakatan dengan Jepang untuk menjadi kepala pemerintahan Manchukuo, suatu wilayah di Utara Tiongkok yang dikuasai Jepang. Hal itu sekaligus menjadikannya 'boneka' kekaisaran Jepang.

     Ketika Jepang kalah Perang Dunia II pada 1945, Puyi ditangkap oleh Uni Soviet dan ia ditahan sampai 1949. Partai Komunis Tiongkok membawa Puyi kembali ke tanah kelahirannya, tapi harus menghabiskan 10 tahun masa hidupnya dipenjara sebagai penjahat perang. 6. Menghabiskan sisa hidupnya sebagai rakyat jelata

      Setelah dibebaskan dari penjara pada 1959, Puyi hidup sebagai rakyat jelata Republik Rakyat Tiongkok atas izin Mao Zedong. Untuk mencari nafkah, ia bekerja sebagai tukang kebun di Kebun Raya Beijing, lalu menjadi peneliti bahasa.

   Ia juga menulis otobiografi tentang hidupnya berjudul From Emperor to Citizen. Puyi dinyatakan meninggal pada 17 Oktober 1967 disebabkan oleh kanker ginjal.

7.  Kaisar pertama yang belajar bahasa Inggris dan memakai jas

    Puyi menjadi kaisar pertama yang dapat berbicara dan menulis bahasa Inggris. Dia juga dikenal sebagai Henry, nama yang dipilih oleh guru bahasa Inggrisnya, orang Skotlandia bernama Reginald Johnston.

   Tak hanya itu  Film “The Last Emperor” menjadikan Puyi sebagai kaisar Tiongkok paling terkenal pada tahun 1987

     The Last Emperor, yang menceritakan tentang kehidupan Puyi, adalah sebuah film biografi epik Inggris-Italia yang diproduksi pada tahun 1987. Film tersebut memenangkan sembilan penghargaan Oscar di Academy Awards ke-60 dan membuat nama Puyi melambung.***